Penarikan Obyek Jaminan Fidusia Secara Sepihak

Krisantus Sehandi
Alumnus Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Surabaya.

1435821744

Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Jaminan Fidusia adalah jaminan kebendaan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dibebani dengan Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu, dimana penerima Jaminan Fidusia mempunyai kedudukan yang diutamakan dalam pelunasan utang terhadap kreditor lainnya.

Banyak perusahaan pembiayaan (finance) menyelenggarakan pembiyaan konsumen (konsumen finance) untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan Jaminan Fidusia. Dimana debitur/pihak yang mempunyai barang mengajukan pembiyaan kepada kreditur, lalu kedua pihak sepakat untuk menggunakan Jaminan Fidusia terhadap benda milik debitor dan wajib dibuatkan dengan akta Notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Kreditur sebagai penerima jaminan fidusia akan mendapatkan sertifikat Jaminan Fidusia dan debitur sebagai pemberi Jaminan Fidusia akan mendapatkan salinannya.

Di dalam prakteknya bahwa banyak perusahaan pembiyaan konsumen yang tidak melakukan pembebanan Jaminan Fidusia dengan akta Notaris. Sehingga banyak akta Jaminan Fidusia dibuat dibawah tangan dan tidak didaftarkan. Pada saat debitur melakukan wanprestasi terhadap kredit jaminan maka dengan secara sepihak kreditur melakukan penarikan terhadap obyek jaminan tersebut. Yang lebih parahnya lagi, penarikan secara sepihak tersebut berupa bantahan, ataupun perlawanan dilapangan. Biasanya yang melakukan penarikan ini diwakili oleh Debt Collector.

Kebanyakan masyarakat yang karena ketakutan saat ditagih oleh Debt Collector dengan sangat terpaksa menyerahkan kendaraan tersebut. Namun, ada pula pihak debitur yang paham tentang Jaminan Fidusia, dengan dalil bahwa penarikan tidak disertakan dengan akta Jaminan Fidusia mereka tidak mau menyerahkan obyek Jaminan Fidusia. Padahal mereka telah melakukan penunggakan pembayaran kredit.

Terkait dengan permasalahan tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Tujuan diterbitkan peraturan ini adalah agar terselenggaranya pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia secara aman, tertip, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pada tahun 2012 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.01/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi perusahaan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan Jaminan Fidusia. Peraturan Menteri Keuangan ini mewajibkan pada perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen kendaraan bermotor dengan pembebanan Jaminan Fidusia, wajib mendaftarkan Jaminan Fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan akta Notaris. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 11 UUJF yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.

Pada tahun 2015 telah diundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Pelayanan pendaftaran Jaminan Fidusia ini dilakukan secara elektronik (online). Tujuannya agar pelayanan bisa dilakukan dengan mudah, cepat, berbiaya rendah dan mengurangi pungutan liar (pungli).

Pendaftaran Jaminan Fidusia paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Jika perusahaan belum memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (sebagai hasil dari pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut), maka menurut Pasal 3 PMK Nomor 103/PMK.010/2012, perusahaan pembiayaan tersebut dilarang melakukan penarikan kendaraan benda Jaminan Fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut.

Mengapa Akta Notaris ? Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan bahwa unsur-unsur yang merupakan akta otentik yaitu (1) bentuk akta ditetapkan oleh undang-undang, (2) akta dibuat oleh pejabat umum, (3) akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah kerjanya. Dengan kata lain bahwa akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik dan sebagai alat bukti yang sempurna.

Tujuan dilakukannya pendaftaran obyek Jaminan Fidusia yaitu (1) terciptanya kepastian hukum, (2) perwujudan dari asas publisitas (terbuka untuk umum), (3) lahirnya hak kebendaan (dapat dipertahankan pada siapa benda tersebut berada), (4) sebagai bentuk perlindungan hukum bagi kreditor dan pihak ketiga.

Eksekusi Jaminan Fidusia
Berdasarkan Pasal 15 UUJF terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Maksudnya, bahwa Sertifikat Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, dimana langsung dapat dieksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Sehingga apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara (1) pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia, (2) penjualan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan, (3) penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Akibat Hukum
Jika eksekusi terhadap jaminan barang obyek jaminan dilakukan secara sepihak, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) sesuai diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata dan dapat digugat ganti kerugian. Hal tersebut menjadi peringatan bagi perusahaan pembiayaan yang tidak mendaftarkan perjanjian Jaminan Fidusia tersebut kekantor pendaftaran Jaminan Fidusia.

Perbuatan perusahaan pembiayaan yang diwakili oleh Debt Collector tersebut dalam mengeksekusi benda Jaminan Fidusia milik debitur yang tidak didaftarkan juga merupakan tindakan pidana. Sesuai dengan pasal 368 KUH Pidana yaitu masuk dalam tindakan perbuatan pemerasan dan pengancaman. Selain itu, Perusahaan pembiayaan yang melanggar kewajibannya menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.01/2012 akan dikenakan sanksi administrasi secara bertahap berupa (1) peringatan, (2) pembekuan kegiatan usaha, (3) pencabutan izin usaha.*

Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat

Oleh: Krisantus Sehandi
Alumnus Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Surabaya.

berita_89906_800x600_SertifikatTanah

Jual beli tanah tanpa bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, merupakan masalah pelik yang sering menjadi sumber konflik masyarakat kita. Ada yang melakukan transaksi jual beli tanah berdasarkan kesepakatan lisan saja antara penjual dan pembeli. Bahkan ada orang yang nekat menjual tanah yang sudah dijualnya, istilah kampungnya, jual di atas jual.

Di kemudian hari muncul masalah, tanah yang dijual atau dibeli itu digugat keabsahannya. Ada yang kemudian diselesaikan secara musyawarah atau kekeluargaan, ada yang dibawa ke pengadilan, adapula lewat jalan pintas pertikaian bahkan pertumpahan darah. Jual beli tanah merupakan proses peralihan hak atas tanah yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan diatur dalam hukum adat, dengan prinsip “terang” dan “tunai.” Terang artinya dilakukan dihadapan pejabat umum berwenang. Tunai artinya tanah dibayarkan secara tunai. Apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah
Sistem jual beli tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan nama UUPA) dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk dibuatkan aktanya. Sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diangkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta tertentu, yaitu akta jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, pembagian hak bersama, pemberiaan hak tanggungan, pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik,dan pemberian hak pakai atas tanah hak milik.

Menurut Budi Harsono dalam bukunya “Reformasi Hukum Tanah yang Berpijak kepada Rakyat” (2002), akta tanah PPAT berfungsi sebagai alat bukti telah terjadinya jual beli tanah. Jual beli tanah tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran jual beli tanah itu hanya dapat/boleh dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya.

Orang yang melakukan transaksi jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat tanah, biarpun jual belinya sah menurut hukum. Dengan demikian, akta PPAT merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu peralihan hak milik atas tanah, karena berkaitan dengan pendaftarannya, dimana BPN akan menolak pendaftarannya apabila tidak melampirkan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT.

Dalam hal jual beli tanah, yang menjadi objeknya adalah sertifikat tanah. Jika tanah sudah bersertifikat, tidak ada masalah. Sebagai pembeli tinggal Anda mengecek keabsahan sertifikat tanah itu dikantor BPN setempat. Jika tanah yang akan Anda beli belum atau tidak bersertifikat, maka Anda harus mengecek keberadaan status tanah tersebut ke Kantor Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat.

Setelah status tanah tersebut benar terdaftar dan ada bukti kepemilikannya, maka Anda dapat meminta surat keterangan Kepala Desa atau Kelurahan setempat. Ini sesuai dengan amanat Pasal 39 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, di mana PPAT berhak menolak apabila tanah yang belum terdaftar ternyata tidak ada surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum besertifikat dari Kantor BPN atau untuk tanah yang letaknya jauh dari Kantor BPN, surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan yang dikuatkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat.

Dokumen yang Harus Diurus
Berikut ini dikemukakan sejumlah dokumen yang harus diurus untuk membuat akta jual beli tanah di kantor PPAT, yakni (1) calon penjual harus membawa Surat Keterangan Status Tanah yang dibuat Kepala Desa atau Camat setempat, (2) surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) jika dilahan tersebut sudah berdiri bangunan, (3) Kartu Tanda Penduduk (KTP), (4) bukti Pembayaran PBB, (5) surat persetujuan suami atau istri bagi yang sudah berkeluarga, (6) dan Kartu Keluarga (KK).

Calon pembeli harus membawa KTP dan KK. Dalam pembuatan akta jual beli, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Penghasilan (Pph), sedangkan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan proses jual beli tanah, antara lain (1) mengecek kepastian kepemilikan hak, apakah penjual benar-benar pemilik sah tanah tersebut, (2) perlu mengetahui tentang subjek yang memiliki tanah dan bangunan yang akan dibeli, (3) harus mengetahui batas maksimum kepemilikan, (4) mengecek apakah diatas tanah tersebut ada hak yang lebih tinggi atau tidak, (5) mengecek apakah tanah dibeli sedang dijaminkan kredit atau tidak, dan (6) mengecek apakah tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa. Setelah semuanya terpenuhi maka akta jual beli akan dibuatkan oleh PPAT.

Sertifikat tanah menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan seseorang atas tanah. Pasal 4 Ayat 1 UUPA menjamin hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat. Fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah dan kuat. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat 2 huruf c UUPA. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagi alat pembuktian yang sah dan kuat sepanjang data di dalam sertifikat itu sesuai dengan data yang terdapat didalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Banyak manfaat yang kita peroleh apabila kita memegang sertifikat tanah, yakni (1) kita dapat dengan mudah membuktikan sebagai pemegang hak atas tanah,(2) dapat dijadikan jaminan hutang ke bank dengan jaminan hak tanggungan untuk modal usaha,(3) manfaat-manfaat lain yang dapat kita peroleh dengan adanya sertifikat hak atas tanah tersebut.

Diharapkan kepada pemerintah dalam hal ini BPN agar lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengerti pentingnya sertifikat tanah. Jika dikemudian hari terjadi gugatan di pengadilan tentang hak kepemilikan atas tanah, maka semua keterangan yang termuat dalam sertifikat mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat, dan hakim harus menerima keteranganyang benar sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. *